Halaman

10 Maret 2009

Agama dan Politik: Menarik Garis

Oleh Frans Obon


MENULIS agama dan politik barangkali sama dengan menarik sebuah garis. Terserah dengan warna apa. Bagaimana menarik garis agama dan politik itu dalam lembaran kehidupan negara, itulah yang coba dijawab dalam diskusi Dian/Flores Pos yang berlangsung di aula Bung Karno, Penerbit Nusa Indah, Sabtu (15/12). Tilikannya dalam konteks Flores dan Lembata.

Tema diskusi adalah “Agama dan Politik” (Kemarin, Hari Ini, dan Esok).Tema ini ditilik dari perspektif agama-agama. Romo Sipri Sadipun Pr membahasnya dari perspektif Katolik, Pdt Y A Reiwutty Tarully dari perspektif Protestan, dan Umar Ibnu Alkhatab dari perspektif Islam. Moderator Romo Feri Dheidae Pr, Kepala Litbang Pusat Pastoral Keuskupan Agung Ende.


Mendiskusikan agama dan politik menimbulkan pertanyaan. “Saya lihat tema agama dan politik lagi hangat sekarang ini. Apakah ada kaitannya dengan aksi para imam beberapa waktu lalu?” begitu kata Direktur Pusat Pastoral Keuskupan Agung Ende, Romo Cyrilus Lena Pr.

Pater Hendrik Kerans SVD, salah satu editor pada Penerbit Nusa Indah juga menyangsikan relevansi berbicara mengenai agama dan politik. Pengalaman dia selama lima tahun di Jepang, rakyat Jepang tidak sibu-ribu (tidak mau repot) dengan politik. Di Jawa selama dua tahun studi di Universitas Gajah Mada, masyarakat tidak sibu-ribu juga dengan politik. Namun ketika kembali ke Flores, orang hangat berbicara politik. Mungkin sangat erat kaitannya dengan kemiskinan – paling tidak kemiskinan yang membuat orang tertarik kepada politik. Menurut dia, tidak relevan berbicara agama dan politik karena politik adalah ajang perebutan kekuasaan dan kekuasaan itu dipertanggungjawabkan kepada rakyat. Pertanggungjawaban kepada Tuhan itu urusan pribadi.

Direktur Penerbit Nusa Indah Lukas Lege bilang, agama tidak saja mentobatkan politik, tetapi juga politik mentobatkan agama. Dalil dua arah semacam ini menimbulkan beragam tafsiran. Barangkali agama berperan mengoreksi politik yang menyimpang dari tujuan mulianya menyejahterakan rakyat dan politik mesti pula membangkitkan kesadaran agama untuk tidak terbuai dalam permainan politik lalu melupakan fungsi kritis agama dan sikap membisu agama terhadap aktivitas politik.
Agama dan politik tidak hanya menjadi topik pembicaraan bagi masyarakat yang miskin secara ekonomis. Tentu. Meskipun fakta amat jelas bahwa di masyarakat yang miskin secara ekonomis, politik diselewengkan untuk kepentingan ekonomis. Justru karena itu agama mesti memberikan kontribusi korektif pada praktik politik. Di negara-negara maju juga, agama tetap saja menjadi salah satu faktor determinan dalam praktik dan perilaku politik. Amerika Serikat, betapapun sekulernya, tetap saja perilaku politik pemilih (rakyat) dipengaruhi agama yang dianut.

Pertanyaannya memang apakah agama menutup mata terhadap penyelewengan politik kekuasaan? Pertanyaan lain, apakah agama juga hanya sekadar urusan pribadi dengan Tuhan, tak ada kaitannya dengan kehidupan sosial? Dengan kata lain, dapatkah kita menyingkirkan agama di sudut kehidupan privat belaka dan hanya sebatas ritual untuk keselamatan diri dan tak ada urusannya dalam kehidupan publik, sehingga agama hanya soal kesalehan pribadi?

Jika agama punya peran korektif pada praktik politik atau agama memiliki kekuatan moral politik, bukankah itu sumbangan agama terhadap praktik dan perilaku politik? Politik tentu saja didasarkan pada nilai dan kepercayaan. Seberapa besar nilai dan kepercayaan ini berperan dalam politik, sangat ditentukan oleh pemegang kekuasaan politik. Sebab politik bagaimanapun adalah sebuah ruang dengan berbagai kemungkinan.

Kalau di Flores dan Lembata sekarang, orang bilang korupsi merajalela dan praktik kekuasaan diselewengkan, atau seperti dikatakan Romo Sipri Sadipun, “Uang telah menyelewengkan politik”, dapatkah agama berdiam diri?

Diskusi agama dan politik yang digelar Dian/Flores Pos itu, memang dimaksudkan untuk mencari sebuah format, mungkin terlalu ideal untuk dikatakan format yang tepat, mengenai hubungan agama dan politik dalam membangun Flores dan Lembata ke depan. Karena kasat mata kita lihat, pulau ini terkenal kental religiusitasnya tetapi kental pula penyelewengan praktik politik kekuasaannya.

Soalnya adalah jika agama memiliki fungsi korektif terhadap politik, bagaimana membangun sinergi antara dua segi kehidupan yang mengklaim dirinya masing-masing otonom. Diskusi ini ingin membicarakan hal ini yakni membangun sinergi yang tepat dan mencari format baru mengelola hubungan agama dan politik. Agar anggur baru kehidupan ditempatkan dalam kerbat baru yang lebih kuat, sebuah kerbat yang menyimpan demokrasi sebagai cara hidup baru (habitus baru).

DARI perspektif agama, kekuasaan politik bersumber dari Allah. Presentasi ketiga narasumber, Romo Sipri Sadipun, Pdt. Y A Reiwutty Tarully, dan Ibnu Alkhatab menegaskan klaim ini.

Dalam visi Katolik, kata Romo Sipri, aktivitas politik mesti meningkatkan martabat kemanusiaan sebagai citra dan gambar Allah. Demikian pula sistem hukum harus pula menjamin kebenaran dan keadilan.

Namun, terdapat ketegangan antara visi dan praktiknya. Menurut Romo Sipri, dalam praktiknya politik kekuasaan telah menjauhkan politik yang meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan penghargaan terhadap martabat manusia dari kehendak Tuhan. Mesin-mesin kekuasaan negara menjauhkan politik dari visi sebagai pemberian Tuhan. Potensi penyelewengan menjadi lebih besar, sebab kuasa dan hukum dijadikan komoditas. Para tiran mengumpulkan uang dan kekuasaan untuk dirinya.

Bagaimana respon kita. Menurut dia, kita harus menyadarkan pemegang kekuasaan bahwa kuasa dan otoritas negara berasal dari Tuhan. Kita antar kembali mereka kepada Tuhan karena mereka sudah jauh dari asalnya. Istilah Romo Sipri, ada gejala gerhana Tuhan dan agama bertugas mengembalikan kekuasaan itu ke sumbernya, meletakkannya kembali pada dasar dan basisnya yang tepat.

Tapi usaha pertobatan ini susah-susah gampang karena sebagian besar dari kita mendukung kekuasaan yang tiran, karena kepentingan (interese) pribadi dan karena takut. Orang tinggal diam, bahkan berkolusi dan mengambil bagian dalam ketidaktaatan terhadap kehendak Tuhan. “Paling sedih kalau Gereja, misalnya, tinggal diam dan tidak ambil bagian untuk mengoreksi aktivitas politik yang menyimpang ini”.
Praktik kekuasaan yang menyeleweng itu sebagian disebabkan oleh penolakan bahwa Allah ada di balik kekuasaan faktual. Karena itu orang mendapatkan kekuasaan itu melalui jalan kejahatan. Korupsi dan kolusi itu berakar di dalam dosa.

Pendeta Tarully mengaku, hampir sama visi Katolik dan Protestan karena memang beriman pada Kristus yang satu dan sama. Iman dan politik adalah dua sisi yang berbeda, namun tidak bisa dipisahkan. Dua garis spiral, yang punya titik pisah dan juga titik singgungnya.

Meski begitu, keduanya punya otonominya masing-masing, yakni tulus versus cerdik, vertikal versus horisontal, sehingga tidak saling subordinasi. Namun keduanya terarah pada pelayanan yang sama. Karena ada titik singgung, maka ada pula kemungkinan untuk membangun kerja sama.

Meski berada di dua panggung, gereja memberikan kritik bila politik menyimpang dari moralitas. Gereja dengan fungsinya sebagai imam dan nabi harus memberikan kritik terus menerus pada aktivitas politik.

Tidak saja sebatas itu, agama selain sebagai agen perubahan dan pembangunan, juga menjadi perantara, menjalankan fungsi mediasi bila terjadi konflik baik internal maupun eksternal. Ini berarti pula Gereja berusaha memberikan solusi. Pendekatan yang diambil adalah bertemu dan bertatap muka, lalu berdialog. Di sini akan ada ruang bertemu dan berdialog untuk mencari solusi.

Dialog ini mesti berlangsung dalam suasana kemitraan. Dialog menuntut pula jangan ada dusta di antara kita, berlangsung jujur tanpa kepentingan. Sebab dunia porakporanda karena kepentingan. Tugas kita, katanya, adalah mencari sahabat, bukan mencari musuh. Musuh kita bersama adalah ketidakadilan dan ketidakbenaran. “Dunia kita adalah dunia malu hati, karena kita tidak berani menegur bila sesama kita berbuat salah. Agama tidak boleh menjadi nabi untuk istana, tapi nabi untuk umat,” katanya.

Menurut dia, gereja memberikan masukan yang dianggap oleh gereja baik untuk dilakukan. Kalau gereja memberikan kritikan dengan tulus, mestinya juga pemerintah menerimanya dengan tulus.

Dalam konsepsi Islam, begitu kata Ibnu Alkhatab, politik atau negara mutlak dibutuhkan untuk mendukung terlaksananya ajaran Islam. Memang benar, katanya, dalam al-Quran dan hadis Nabi tidak dijumpai perintah secara jelas agar umat Islam mendirikan negara tetapi dapat diperoleh ayat-ayat al-Quran dan hadis-hadis Nabi yang secara implisit dapat dipahami bahwa adanya negara bagi umat Islam untuk dapat melaksanakan ajaran Islam merupakan tuntutan syariat yang mutlak adanya.

Ibnu bilang, di masa lampau terutama pada awal kemerdekaan dan pada dekade pertama kekuasaan Orde Baru, relasi Islam dan negara telah menimbulkan ketegangan. Sejarah Islam kontemporer ditandai dengan kemandekan politik dalam hubungannya dengan negara karena Islam dianggap bisa menjadi pesaing kekuasaan dan karenanya dapat mengusik basis kebangsaan negara.

Memang ada kelompok yang ingin menjadi Islam menjadi ideologi negara. Namun, keinginan tersebut telah ditelan oleh sejarah bangsa ini yang justru mayoritas beragama Islam. Tidak semua umat setuju dengan gagasan menjadikan Islam sebagai agama negara. Juga tidak semua umat mendukung partai-partai politik yang berideologi Islam.

“Apa yang ingin saya katakan dengan gambaran ini adalah, adanya arus besar bangsa ini yaitu mayoritas umat Islam lebih menghendaki Islam sebagai nilai-nilai sosial daripada kekuasaan politik formal. Arus besar umat Islam tampaknya lebih memilih untuk menerima posisi sejajar dalam konteks keindonesiaan dengan pemeluk-pemeluk agama lain daripada menjadi kekuatan politik formal yang membuat pemeluk agama lain tidak kerasan hidup di negeri ini,” katanya.

Dalam konteks ini, begitu katanya, kalau kita masih percaya pada moral politik, maka agenda utama kita sesungguhnya bukan terletak pada sejauhmana pemikiran atau ajaran agama compatible dengan politik, tetapi sejauh mana agama tidak mengubah dirinya menjadi kekuatan politik dan sejauh mana kelompok-kelompok dominan menjadikan politik sebagai salah satu alat untuk memakmurkan masyarakat.

Menulis agama dan politik memang ibarat menulis garis. Karena agama harus menarik garis pisah yang jelas dari politik agar tidak terkooptasi dan disubordinasi. Karena ketika dikooptasi politik negara, agama hanya akan menjadi alat di tangan kekuasaan negara untuk mendapatkan legitimasi. Agamapun akan membisu ketika ketidakadilan dan ketidakbenaran merajalela. Namun di sisi lain agama sebagai sebuah institusi dalam masyarakat harus pula mengoreksi politik agar hakikat sejati politik tetap terpelihara. Garis itu bengkok, saling tindih, atau apapun hasilnya, amat tergantung pada kecermatan kita untuk selalu mencari format baru dan tepat dalam membangun hubungan agama dan politik.*

Askese Politik
SATU dari dua Air Conditioner (AC) di ruang Bung Karno, Penerbit Nusa Indah tidak berfungsi sehingga pintu dan jendela aula dengan kapasitas 50-an orang itu dibuka. Hari itu cuaca agak panas. Namun moderator diskusi Romo Feri Dheidae Pr dengan tangkas memfokuskan diskusi sehingga diskusi berjalan lancar dan enak. Waktu 3,5 jam diskusi tidak terasa. Romo Feri mudah mengarahkan pembicaraan agar tidak melebar karena dia sendiri seorang sosiolog.

Meggy Sigasare dalam sesi diskusi menyebutkan sederetan nama (tokoh-tokoh Katolik) baik asal Flores dan Lembata maupun dari daerah lainnya di pentas politik nasional, yang menurut orang Katolik memiliki reputasi politik yang cukup baik. Mereka memainkan peran penting dalam periode sejarah bangsa ini. Frans Seda, Ben Mangreng Say, Jacob Nuwa Wea, JB Sumarlin, Cosmas Batubara, Sony Keraf – mengenai Sony Keraf, saya dengar sendiri dari anggota DPR RI dari PDI Perjuangan Tjahyo Kumolo di Hotel Aston di dekat kampus Atmajaya Jakarta pada bulan Juni lalu bahwa Sony Keraf tergolong tokoh yang bersih di PDI Perjuangan dan di DPR RI. Sangat konsisten dan memiliki moralitas politik yang cukup baik.

Menurut Meggy, jika melihat riwayat hidup tokoh-tokoh politik dari golongan Katolik ini tidak terlepas dari campur tangan Gereja (baca hirarki). Mengapa sekarang tidak ada lagi hirarki Gereja memiliki kepedulian seperti itu?. Paling tidak Meggy mau mengatakan bahwa ketika hirarki melepaskan diri dari proses pengkaderan dalam politik ini, hampir tidak ada lagi tokoh-tokoh Katolik sekaliber orang-orang yang disebutkan tadi. Dengan ini Meggy ingin menegaskan bahwa perlu sekali intervensi (hirarki) Gereja dalam mengkaderkan tokoh-tokoh politik Katolik.

Pembicaraan mengenai kontribusi agama untuk mengoreksi praktik politik yang menyeleweng dari tujuan sejatinya amat kuat terlihat dalam diskusi. Meski terdapat keraguan juga bahwa moralitas agama seakan tidak berpengaruh lagi dalam perilaku politik elite politik lokal kita.

Kanis Nangge mengatakan, sebelum mereka menduduki jabatan politik, semisal menjadi anggota DPRD, mereka amat dekat dengan tokoh agama dan berkomitmen untuk membarui praktik politik yang menyimpang. Bahkan hampir setiap hari selalu dekat dengan tokoh-tokoh agama. Tetapi begitu sudah duduk di Dewan, mereka sudah lupa dan hilang terus.
Perilaku habis manis sepa dibuang ini memang sedang menghinggapi banyak politisi lokal kita. Politik sebagai ruang dengan serba kemungkinan dimanfaatkan untuk tujuan kepentingan diri dan kelompok. Romo Sipri mengakui bahwa dia dan beberapa imam ikut mendorong beberapa orang partai untuk duduk di Dewan. Tapi begitu mereka mendapatkan tujuannya yakni duduk di kursi Dewan, mereka sudah lupa dan tidak pernah datang lagi. Kalau ada yang bilang Gereja perlu mengundang tokoh-tokoh Katolik untuk berdialog dan duduk bersama, itu semua sudah dilakukan. Tapi pertemuan hanya sekali saja, semua itu hilang. Tidak ada lagi yang datang.

Apa bedanya tokoh politik di masa lalu dengan yang sekarang? Pdt Tarully bilang, politisi pada saat negara ini merdeka dan masa-masa awal kemerdekaan memiliki perjuangan yang murni. Sekarang semua orang berjuang untuk kepentingan dan kekuasaan. Kita orang kristen harus belajar mengosongkan diri.

Bolehlah dibilang, sebagian besar peserta diskusi melihat agama berperan untuk mengoreksi praktik dan perilaku politik tanpa etika politik. Ketua Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat (STPM) Santa Ursula Ende Suster Mariana Ita Batmomolin OSU berpendapat bahwa agama akan mengembalikan politik ke fungsinya yang asali yakni mengabdi pada kesejahteraan rakyat. Politik itu juga harus berlandaskan iman dan institusi agama sebagai institusi moral mesti menjalankan fungsi kontrolnya. “Jika tidak ada moral dalam politik, agama bertugas mengembalikan politik ke tujuannya yakni kepentingan rakyat,” kata Suster Ita.

Dalam konteks Katolik, Gereja menjalankan fungsi kenabian agar politik mengabdi kepentingan umum dan mengembalikan politisi ke Tuhan.

Irama Pelaseke, Koordinator Universitas Terbuka di Ende juga sependapat bahwa agama lebih banyak berperan sebagai pesan moral. Pemimpin agama mengajak umat kembali ke jalan yang benar supaya politik dilaksanakan untuk kepentingan banyak orang. Karena itu ada saat-saat di mana politik dan agama bertemu.

AGAMA dan politik, bagaimana sebuah ruang bisa tercipta. Kalau agama dan politik memiliki otonomi masing-masing, adakah sebuah ruang di mana keduanya bisa bertemu?
Pertanyaan lainnya, bagaimana moralitas agama itu memainkan perannya di dalam moralitas politik. Kekuasaan politik memberikan pertanggungjawaban kepada rakyat yang memilihnya melalui wakil-wakil rakyat di parlemen. Pertanggungjawaban bisa juga melalui transparansi pelaksanaan politik pemerintahan agar rakyat bisa melihat bagaimana kekuasaan dilaksanakan dan rakyat bisa berpartisipasi di dalamnya melalui medium pembentukan opini publik.

Salah satu medium pembentukan opini publik sekaligus menjadi tempat di mana orang bisa berpendapat adalah melalui media massa. Karena itu, menurut Pendeta Tarully, amat disayangkan kalau seorang pemimpin tidak mau baca koran. Padahal melalui koran seorang pemimpin bisa mengetahui apa kehendak rakyatnya.

Direktur Pusat Pastoral Keuskupan Agung Ende Romo Cyrilus Lena mengatakan, pemerintah bertanggung jawab kepada rakyat. Namun dalam konteks nilai, kita berhubungan dengan agama, tergantung nilai apa yang kita perjuangkan.

Dalam diskusi ini, yang disebutnya sebagai satu bentuk pencerahan dalam melihat hubungan agama dan politik, dosen STPM Santa Ursula, Aloysius Kelen mengatakan, negara dibentuk untuk mencegah egoisme politik orang perorangan. Negara dibentuk agar rakyat jangan dikuasai oleh orang perorangan. Negara punya peran moral dan bertugas mendidik rakyat. Apakah ada jaminan negara itu bermoral?

Yang perlu ditegaskan di sini adalah, jika ada politisi yang tidak lagi memperhatikan moralitas politik karena menjalankan politik secara liar, tidak berarti bahwa agama tidak ada gunanya lagi dalam praktik politik. Kalau ada politisi rajin beribadah, tapi perilaku politiknya jauh dari etika politik tidak berarti agama sama sekali tidak penting untuk politik. Agama tetap penting dalam politik. Bagaimana hal itu dijelaskan?

Kesulitan memang terletak di sini. Dalam konteks politik dan negara modern, ada dua distingsi yang jelas, atau terdapat dua wilayah yang berbeda. Satunya wilayah privat dan satunya wilayah publik. Dalam teori ini, agama masuk dalam wilayah privat sedangkan negara masuk dalam wilayah publik. Yang privat tidak bisa mengatur wilayah publik. Misalnya aturan satu komunitas agama tidak bisa dipaksakan ke dalam wilayah publik negara, karena akan berbenturan dengan komunitas agama lainnya. Nilai dan keyakinan yang dianut satu komunitas agama tidak bisa dipaksakan untuk diyakini dan dianut oleh komunitas agama lainnya.

Di sini negara mengandaikan adanya moralitas publik, sedangkan agama mengajarkan moralitas pribadi. Moralitas publik ada di dalam wilayah negara, sedangkan moralitas agama ada di dalam wilayah privat. Seperti yang dikeluhkan, orang yang paling rajin beribadah pun belum tentu menjadi orang baik dalam moralitas publik. Orang itu bisa begitu rajin berpuasa, beribadah, beramal, dan kegiatan religius lainnya, namun dia bisa saja melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme di wilayah publik. Di sini dia melanggar moralitas publik.

Moralitas agama bukan tidak ada manfaatnya untuk moralitas publik. Konsep askese di dalam agama misalnya adalah sebuah latihan untuk menahan nafsu, keinginan, dan godaan penggunaan kekuasaan yang tidak terkendali. Konsep askese ini dapat diterapkan dalam politik kekuasaan, yakni menahan diri dari godaan untuk menyalahgunakan kekuasaan. Konsep ini juga dapat diterapkan dalam politik yakni mematikan kepentingan diri sendiri demi kepentingan yang lebih besar.

Intinya adalah bagaimana moralitas agama menjadi darah daging di dalam diri politisi untuk mengejawantahkannya dalam moralitas publik negara. Terminologi Kristen: bonum facere, malum vitandum yang berarti lakukan kebaikan, hindarilah kejahatan merupakan perintah moral keagamaan yang dapat diimplementasikan dalam praksis politik.
Ini tidak lain adalah usaha agar yang dikejar dalam agama bukanlah terutama kesalehan pribadi melainkan kesalehan sosial. Konsep askese di dalam agama masih dianggap relevan untuk praktik dan perilaku berpolitik.

Politik Lintas Batas
PERTANYAAN terpenting lainnya dalam diskusi ini adalah bagaimana agama-agama di Flores dan Lembata dalam konteks yang lebih mikro berperan mengoreksi politik yang telah berjalan melampaui daya penjelas politik yang logis? Bagaimana agama-agama di Flores dan Lembata membangun relasinya dengan politik negara dalam konteks lokal?

Diskusi yang digelar Dian/Flores tiap bulannya punya satu tujuan yakni mencari relevansi lokal dari setiap masalah yang dianggap berdampak langsung pada masyarakat lokal. Ini jauh dianggap penting karena dengan itu masyarakat lokal terbantu untuk membuat keputusan mengenai apa yang mereka harus lakukan. Karena memang tugas utama media adalah membantu masyarakat agar dapat mengambil keputusan yang berkualitas. Kontribusi media justru di sini bahwa media membantu masyarakat mengerti masalah mereka dan membantu memberikan solusi.

Flores dan Lembata terkenal kental dengan religiusitasnya, kendati demikian masyarakat dihadapkan dengan kenyataan bahwa politik sering diselewengkan oleh kepentingan diri dan kelompok. Lalu, dapatkah agama-agama berdiam diri? Tentu saja tidak bisa. Agama tidak bisa cuci tangan dari semua kotor motor yang melumpuri dunia politik. Kalau politik diarahkan sebagai sebuah pengabdian, maka agama juga mesti mengambil bagian untuk membersihkan politik yang kotor itu.

Terlepas dari dimensi transendentalnya, agama-agama memiliki dimensi imanensi, bahwa agama memberikan arah pada kehidupan bersama. Masing-masing agama memiliki ajaran mengenai keterlibatan mereka di dalam wilayah publik, yang dinamakan ajaran sosial. Dalam perspektif Katolik, ada ajaran sosial Gereja.

Gereja Katolik terkenal dengan struktur atau hirarki yang tersusun rapi. Gereja memiliki ajaran sosialnya, yang disampaikan oleh wewenang mengajar yang dimiliki Magisterium Gereja yakni para paus. Refleksi para teolog atau ahli-ahli Katolik terhadap masalah sosial tidak disebut sebagai ajaran sosial Gereja.

Ajaran sosial Gereja adalah ajaran resmi Gereja Katolik mengenai satu masalah sosial. Karenanya para politisi Katolik hendaknya merasa wajib untuk mengetahui ajaran sosial Gereja ini agar keterlibatan mereka di dalam wilayah publik negara terinspirasi oleh sikap resmi Gereja Katolik.

Pendeta Tarully mengaku bahwa di kalangan Prostestan sekarang ini sedang diusahakan untuk memiliki satu ajaran sosial Gereja. Dengan ini umat akan memiliki satu pegangan dasar dalam menyikapi suatu masalah sosial.

Di dalam Islam, kata Ibnu Alkhatab, Islam sebagai rahmat bagi semua makhluk harus mampu memberikan arah bagi perkembangan ke depan. Ini berarti umat Islam harus meningkatkan kapasitas sosial atau apa yang disebut juga dimensi sosial dari ajaran Islam. Dimensi sosial ini adalah manifestasi dari ajaran Islam dalam kehidupan bermasyarakat. Dimensi sosial ini memperoleh porsi yang jauh lebih besar daripada dimensi ritual.

Menyitir Kuntowijoyo, Ibnu Alkhatab mengatakan, ada dimensi relasional di dalam Islam yakni keberlanjutan yang tak terputuskan antara keimanan dan kenyataan. Surat al-Baqarah ayat 2 dan 3 mengungkapkan tanda-tanda orang yang bertakwa yakni orang bertakwa adalah orang yang percaya kepada kenyataan ghaib, shalat, dan rezeki. Menurut dia, ada hubungan keberlanjutan antara kepercayaan, shalat, dan zakat atau ada hubungan antara iman dan amal shaleh. Pikiran ini menegaskan bahwa orang Islam dapat sekaligus menjadi muslim dan politisi, bahwa antara iman dan amal itu terkait satu sama lain.
Ibnu mengakui, di dalam Islam tidak ada hirarki sebagaimana di dalam Katolik. “Islam tidak mengenal struktur. Setiap individu adalah pemimpin, sehingga tidak ada satu fokus yang bisa menggerakkan”.

DISKUSI perlahan-lahan berarkhir. Pada sesi terakhir diskusi, peserta melihat perlunya kerja sama lintas agama agar daya transformatif dari agama lebih kuat bergema di wilayah publik.

“Gerakan ini perlu lintas agama dan membentuk satu jaringan kerja sama guna membahas dimensi sosial dari ajaran keagamaan,” begitu Romo Feri mengarahkan diskusi. “Kita perlu membangun kerja sama lintas agama untuk kebijakan publik yang berpihak kepada kepentingan umum,” kata Meggy Sigasare.

Namun Romo Sipri mengingatkan peserta bahwa pada tataran konsep gagasan kerja sama lintas agama ini bagus, namun dalam tataran praksis di lapangan konsep ini tidak mudah dilaksanakan. Jangankan lintas agama, menyatukan persepsi dalam kelompok yang punya kesamaan agama pun luar biasa pula sulitnya.

“Menyamakan persepsi itu luar biasa susahnya. Bagaimana kita meyakinkan dan menjaga agar kepentingan pribadi dan kelompok tidak masuk dalam gerakan. Menyamakan persepsi dari kelompok yang punya pekerjaan sama jauh lebih mudah,” katanya. Meski begitu, kerja sama lintas agama dalam memperbaiki praktik politik negara mutlak diperlukan.
Ibnu Alkhatab mengatakan, meski Islam minoritas di Flores, namun Islam telah memberikan kontribusi dalam pembentukan masyarakat yang beradab. “Karena itu tidak ada jalan lain kecuali kita bergandengan tangan melepaskan segala curiga, bersama-sama membangun pulau tercinta ini. Banyak sekali persoalan di dalam masyarakat kita yang membutuhkan kerja sama kita,” katanya.

Menurut dia, salah satu pilar terpenting dalam realitas politik adalah hadirnya kelompok kepentingan yang kuat di dalam masyarakat sehingga masyarakat memiliki basis untuk turut serta mengambil bagian dalam kontrol dan koreksi terhadap kekuasaan. Jika kontrol tidak efektif, semua lapisan masyarakat akan dirugikan.
Relasi agama dan politik dalam konteks lokal ke depan, begitu kata Ibnu, adalah pentingnya membangun hubungan simbiosis mutualistik antara agama dan politik. “Saya kira inilah tugas kita ke depan,” katanya.

Diskusi ini memang pada salah satu kesimpulan akhirnya mengatakan perlunya agama-agama membangun kerja sama lintas agama untuk membangun kesejahteraan bersama. Namun seperti diingatkan oleh Romo Sipri, tidak mudah dalam praksisnya membangun kerja sama lintas agama agar agama dengan daya transformatifnya membarui politik lokal di Flores. Setiap agama memiliki ruang dimana prinsip-prinsip tidak dapat dinegosiasikan atau ditawar-menawarkan. Memang terkadang agama mendesakkan nilai-nilai mereka ke dalam wilayah publik negara sehingga menimbulkan benturan di antara komunitas agama.

Kendati ada hal yang tidak dapat dinegosiasikan, namun ada pula ruang di mana mereka bisa bekerja sama yakni ruang melawan ketidakadilan dan ketidakbenaran serta melawan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di wilayah Flores dan Lembata, serta menentang segala bentuk penyalahgunaan wewenang. Tentu di sini kita perlu membangun kesadaran bersama bahwa praktik politik yang koruptif akan dapat merusak masa depan kita bersama.

Kalau agama ingin memainkan peran transformatifnya, maka agama harus bisa menarik garis pisah yang jelas dari kekuasaan, atau tidak ikut berkolusi dengan kekuasaan. Ini akan menuntut mereka untuk menjaga independensi mereka dari kekuasaan, sehingga mereka tidak memiliki beban ketika mengontrol kekuasaan.

Pada titik lain, politisi-politisi membangun koalisi lintas agama untuk sebuah pemerintahan yang bersih. Dengan ini politisi kita melintasi batas dan sekat keagamaan mereka untuk mengulurkan tangan kepada satu sama lain.

Membangun politik lintas batas seperti ini akan dapat menangkal segala bentuk penyekatan-penyekatan dalam menyikapi satu masalah, sehingga satu masalah tidak mudah digiring dan dilokalisasi sebagai masalah kelompok agama tertentu.
Keberanian untuk keluar dari politik kesukuan seperti ini memang tidak mudah. Kita memerlukan keberanian besar untuk memulai semua ini. Diskusi ini hanyalah awal dari kemungkinan-kemungkinan yang bisa kita gunakan untuk membangun basis politik lokal yang lebih egalitarian ke depan.

Flores Pos | Feature | Agama dan Politik
|19-22 Desember 2007 |

Tidak ada komentar:

Posting Komentar