Halaman

10 Maret 2009

Membangun Manggarai

Oleh Frans Obon

Merancang pembangunan Manggarai dalam kultur dan budaya politik lokal.

MENANGKAP momen. Begitulah yang dilakukan Ikatan Mahasiswa dan Pelajar Manggarai IMAPELMA) di Kota Ende. Sabtu pekan lalu, para mahasiswa merancang sebuah diskusi tentang rancang bangun Manggarai. Secara administratif Manggarai dibagi tiga kabupaten: Manggarai, Manggarai Barat, dan Manggarai Timur. Namun secara kultur, Manggarai tetap satu: Selat Sapen Sale di ujung barat dan Wae Mokel awo di ujung timur. Satu kesatuan kultur dan warisan budaya masa lalu akan terus ditenun ke depan untuk membentuk jati diri.

Rancang bangun Manggarai dalam kesatuan kultur itu jadi target diskusi. Mahasiswa dan pelajar Manggarai bersama anggota Ikatan Keluarga Manggarai (IKM) di Ende ingin menjadikan ajang diskusi itu sebagai forum curah gagasan sebagai bentuk kontribusi mereka membangun Manggarai.


Sebetulnya Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Manggarai Barat, Rafael Arhat datang ke Ende atas undang Harian Umum Flores Pos untuk mendiskusikan pembangunan Manggarai Barat dari aspek badan perencana. Harian pertama di Flores ini secara rutin menggelar diskusi tiap bulan. Pesertanya tidak banyak, berkisar 30-50 orang. Karena diskusi di Flores Pos hanya berlangsung pagi hingga tengah hari, maka atas inisiatif IMAPELMA dan beberapa orang lainnya dirancanglah diskusi pada sore harinya. Pembicaranya tidak saja Kepala Bappeda Mabar, melainkan beberapa tokoh Manggarai di Ende yakni Pius Pampe (dosen Universitas Flores), Paulus Lengor penasihat IKM), dan Kanis Rambut sebagai moderator (dosen Universitas Flores). Berhalangan hadir Alfons Sakura (dekan Fakultas Hukum Universitas Flores).

Ketua IMAPELMA Almon Gaut dan Sekretaris Eduardus Jemahu bersama para mahasiswa IMAPELMA seperti Vincent Tanus, Edu, Dus, Kon Daud, Kristo, Marius Jandur dan beberapa lagi sibuk merancang acara. Mereka mendekati penasihat IMAPELMA Pius Pampe untuk mengkomunikasikan rencana ini ke orangtua-orangtua Manggarai di Ende. Tanggapannya positif. Segala sesuatu disiapkan. Undangan disebarkan. Karena kapasitas ruangan aula Bung Karno Penerbit Nusa Indah di Jln El Tari hanya bisa menampung 100 orang, maka undangan terbatas.

SEHARI sebelumnya hujan lebat mengguyur Ende. Almon dan kawan-kawan mulai cemas. Surat undangan dibagi di bawah guyuran hujan. Tapi saya lihat hujan sama sekali tidak mengurangi semangat mereka. Jumat malam tim buat evaluasi kecil untuk melihat persiapan keesokan harinya. Mulai dari acara diskusi hingga konsumsi. Pertemuan tidak serius amat. Santai. Almon mengingatkan kawan-kawannya untuk maksimal menyiapkan pertemuan.

Sore itu, cuaca cukup baik. Hujan berhenti. Kursi-kursi dipenuhi peserta. Mahasiswa memadati tiga perempat ruangan. Konradus Daud yang jadi master of ceremony (MC) persilakan Almon Gaut membuka acara diskusi. Almon kenakan jas songke Manggarai. Rapi. Dia bilang, IMAPELMA bikin acara ini agar para mahasiswa dan orang Manggarai di Ende punya ajang menyampaikan gagasan mereka untuk membangun Manggarai. “Kita tetap anut prinsip Manggarai sebagai satu kesatuan, meski terpisah secara administratif,” katanya.

Moderator lalu pimpin diskusi dan memberikan sebuah pengantar yang bagus. Kepala Bappeda Rafael Arhat mengatakan, Manggarai tidak bisa dipisahkan meski locus pembicaraannya nanti soal Manggarai Barat. Namun dia mengingatkan bahwa dia bicara dalam diskusi tersebut dari aspek manajemen, bukan aspek politik. Salah satu titik fokus yang dia bahas adalah soal pariwisata Manggarai Barat. Saat ini Rafael menjabat Ketua Forum Pariwisata Manggarai Barat.

Dia bicara mengenai hasil survei kepuasan pelanggan wisata yang dilakukan tahun 2006 dan 2008. Survei ini memperlihatkan bahwa dari tingkat pendidikan 70 persen wisatawan ada di universitas, sekolah menengah umum 17 persen, dan dokter 7 persen. Perempuan 31 persen dan laki-laki 69 persen. Selama berada di Mabar, 90 wisatawan melihat komodo dan satwa liar lainnya, disusul skonerling/pantai 68 persen, melihat kampung tradisional dan trekking/hiking masing-masing 32 persen, dan diving 31 persen dan tour overland 16 persen. Aktivitas di pulau (laut) 59 persen dan aktivitas di darat 41 persen.

Lama tinggal rata-rata 5,31 hari. Paling banyak 3 hari (42 persen), dan lima hari (10 persen). Alasan lama tinggal adalah 12 persen karena lebih banyak hal untuk dilihat dari yang diharapkan, disusul alasan lain (tidak ada pesawat, sakit, diving) 3 persen. Rata-rata pengeluaran harian selama tinggal di Manggarai Barat $69,8. Kualitas guide, aspek keramahtamahan tertinggi 68 persen, pengetahuan lokal 44 persen, dan kecepatan pelayanan 39 persen, dan keandalan 36 persen.

Pengenalan nama brand destinasi, 76 peserta mengatakan ya dan 24 persen tidak. Nama brand destinasi itu merefleksikan nama destinasi 70 persen ya, dan 6 persen tidak. Selama kunjungan ke Mabar, ada 55 persen mengatakan tidak mengakses internet dan 45 persen mengatakan ya. Yang paling menonjol adalah keramahtamahan masyarakanya. Sementara rekomendasi pertama dari wisatawan terhadap pengelolaan objek wisata di Mabar adalah menjaga lingkungan, urutan kedua higienitas fasilitas toilet dan kamar mandi, ketiga pantai dan kota kotor, diikuti terlalu mahal, perahu yang bising, dan informasi yang tidak dapat dipercaya.

Sekitar 95 persen wisatawan mengatakan bahwa mereka akan menceritakan kepada teman-teman mereka mengenai objek wisata di Mabar dan 75 persen mengatakan mereka akan datang kembali ke Mabar.

Jika dibandingkan survei tahun 2006 dan 2008, faktor bahasa Inggris yang paling kentara yakni dari 84 persen turun ke 64 persen. Menurut Rafael, hal ini terjadi karena ketika jumlah turis meningkat, jumlah pemandu wisata terbatas, sehingga mengisi kekosongan ini dicarilah pemandu freelance. Penurunan kualitas bahasa Inggris terjadi karena faktor ini. Sedangkan tingkat kepuasan sama dengan nilai uang yang dikeluarkan meningkat dari 69 persen ke 77 persen, keandalan dari 72 persen ke 89 persen, kecepatan pelayanan naik dari 72 persen ke 89 persen, pemesanan di depan naik dari 42 persen ke 80 persen.

Sementara di tingkat kualitas hotel, keramahtamahan naik dari 75 persen ke 88 persen, keamanan dari 66 persen ke 77 persen, fasilitas hiburan dari 22 persen ke 36 persen, air condition dari 32 persen ke 66 persen, dan pemesanan di depan dari 48 persen ke 81 persen. Yang menurun justru pengetahuan lokal dari 71 persen ke 64 persen. Pengeluaran harian untuk akomodasi naik dari $20,5 ke $28.3. Pada tingkat kualitas tour/dive operators variasi produk naik dari 43 persen ke 65 persen,kualitas fasilitas dari 46 persen ke 67 persen, bahasa Inggris dari 75 persen ke 82 persen. Yang menurun adalah pengetahuan lokal dari 84 persen ke 82 persen. Sedangkan lama tinggal menurun dari 5,8 hari tahun 2006 menjadi 5,3 hari tahun 2008.

“Semakin lama orang tinggal di Labuan Bajo, makin banyak pula uang yang dibelanjakan. Kita optimistis bahwa wisatawan tidak hanya mau melihat komodo tetapi juga banyak objek wisata lainnya. Sekarang tinggal persiapan masyarakat dan pemerintah. Jika orientasi kunjungan mulai beralih pula ke objek darat maka yang diperlukan adalah membangun infrastruktur yang baik,” katanya.

Setelah Rafael, moderator persilakan Paulus Lengor mempresentasikan refleksinya mengenai situasi budaya dan sosial politik di Manggarai. Penasihat Ikatan Keluarga Manggarai IKM) ini mengatakan, komunikasi politik di tingkat elite politik di Manggarai terganggu karena adanya sikap pura-pura, lain di bibir lain di hati, dekat di mata jauh di hati. Akibatnya komunikasi terputus. Budaya politik mengarah ke pengkotak-kotakkan, meu-meu ami-ami (kamu-kamu, kami-kami). “Politik menjadi agama baru, mati-matian membela, ngotot, ada kecurigaan politik,” katanya.

Masalah-masalah politik di tingkat elite ini akan merembet ke akar rumput sehingga terkesan hanya menunggu pemicu saja. Hal-hal sepele bisa jadi masalah besar. “Langu tuak (mabuk moke) saja bisa jadi masalah,” katanya.

Masalah ini hanya bisa diselesaikan melalui rekonsiliasi. “Kita menempatkan Tuhan dan nenek moyang kita sebagai pusat dari penyelesaian masalah”. Selain itu menyelesaikan semua masalah secara musyawarah mufakat (muku ca puu neka woleng curup, teu ca ambo neka woleng lako/jaong). Ada banyak goet-goet adat yang bisa digunakan untuk menyelesaikan masalah sosial politik di Manggarai.

Pius Pampe, yang bicara pada sesi terakhir melihat Manggarai dari sudut budaya. Dia memberikan manik-manik yang bisa diambil dalam merencanakan pembangunan Manggarai. Menurut dia, banyak sekali pola laku dan pola tingkah sekarang ini di Manggarai sudah bertentangan dengan nilai-nilai luhur budaya Manggarai. Sudah terlihat telah terjadi alienasi budaya/kultur. Dampak dari erosi kultural ini adalah terjadinya terorisme ekologis, bencana alam, terorisme sosial (hau-hau, aku-aku), terjadi terorisme ethologis di mana tidak ada lagi sopan santun. Mengapa ini terjadi. Ini disebabkan oleh karena orang Manggarai telah miskin secara kultural, miskin religius, krisis nilai dan kesenjangan kultural.

Karena itu dia anjurkan agar Manggarai ke depan khususnya Manggarai Barat dibangun dengan basis budaya dan pemberdayaan pertanian yang menjamin keamanan pangan. Pertanian kita tidak hanya dibangun untuk kepentingan ekspor melainkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tanaman-tanaman lokal itu dipelihara. Bagi dia, keamanan pangan yang ditopang tanaman tradisional harus jadi entry point dari rencana pembangunan di Manggarai Barat. “Tanaman tradisional untuk keamanan pangan ini dipadukan dengan komoditas modern. Jangan abaikan food security,” katanya.
Mencegah dan mengatasi berbagai masalah di Manggarai, katanya, mesti menggunakan pendekatan budaya. “Kita berdayakan bidang hukum adat. Masalah-masalah lebih banyak diselesaikan di luar pengadilan,” katanya.

Di luar hujan rintik-rintik. Makin lama makin reda. Moderator membuka sesi diskusi. Kontan saja peserta angka tangan. Banyak pertanyaan. Mulai dari erosi budaya hingga masalah hutan. Masalah politik. Masalah Labuan Bajo yang kotor. Kualitas pemandu.
Stefanus Hadun, guru SMA Negeri 1 Ende mengatakan, dari berita media kita tahu bahwa masalah hutan di Manggarai makin kritis. Bencana terjadi karena hutan sudah gundul. Sawah Lembor tidak bisa dikerjakan karena kekurangan air. Hutan Nteer sudah hancur.
Ketua IMAPELMA Almon Gaut juga bicara yang sama. Para mahasiswa, katanya, siap melakukan gerakan menanam pohon. Rencananya IMAPELMA akan melakukan reboisasi di Mbohang, Kabupaten Manggarai. Dia anjurkan agar pemerintah bukan pos-pos hutan untuk pengawasan. Pendekatannya juga melibatkan masyarakat, bukan pendekatan proyek.

Rafael bilang degradasi hutan sudah terjadi lebih cepat. Pada masa Pak Anton Bagul (Bupati Manggarai Antony Bagul Dagur) ada law enforcement terhadap masalah hutan. Tapi tindakan law enforcement itu dikritik. Tidak seluruhnya Pak Anton salah. Ada benarnya. “Kalau kita mau maju, kita mesti belajar dari kegagalan. Kita semua sudah rasakan bagaimana bencana terjadi karena hutan sudah gundul,” katanya.

Mengenai hutan Nteer yang sudah habis yang mengakibatkan sawah Lembor kesulitan air irigasi, penyelesaiannya mesti lintas kabupaten. Hutan Nteer itu ada di Kabupaten Manggarai dan pemerintah Manggarai Barat tidak punya kewenangan. Pemerintah Manggarai Barat sudah menyurati pemerintah provinsi, namun sampai saat ini belum ada jawabannya.

Dalam konteks pariwisata, menjaga kelestarian lingkungan juga amat penting. “Kalau kita mengembangkan eko-wisata maka sudah seharusnya kita perlu menjaga hutan-hutan kita. Pariwisata Manggarai Barat ke depan akan mengembangkan eko-wisata. Kalau kita lihat hasil survai, wisatawan tidak hanya melihat binatang komodo tapi juga eko-wisata seperti treking dan hiking. Ikon pariwisata ke depan adalah eko-wisata,” katanya.

Soal budaya ada banyak usulan. Stef Hadun usulkan agar ada festival budaya Manggarai yang digelar secara teratur tiap tahunnya. Tiga kabupaten menggelar festival bersama-sama. Selain itu menyelesaikan masalah menggunakan pendekatan budaya.

Rafael setuju dengan gagasan festival tiga kabupaten. Dia bilang, pemerintah Manggarai Barat selama ini tiap tahun tepat pada ulang tahun Manggarai Barat menggelar festival budaya. Dari Bali juga sudah minta kita menggelar festival budaya bertaraf internasional.

Usul festival Manggarai seluruhnya itu bagus, katanya.
Demikian halnya dengan penyelesaian konflik. Rafael mengatakan, tiap kali muncul masalah Bupati selalu minta selesaikan dulu secara adat. Karena itu dalam pertemuan dengan para pastor pada satu kesempatan baru-baru ini, saya menekankan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan bersama tokoh-tokoh agama. “Romo-romo bergerak di bidang penyadaran masyarakat,” katanya.

Paulus Lengor menjawab, budaya Manggarai tidak mengenal kalah menang. Manggarai menghidupkan budaya kawo. Hukum positif selalu kalah-menang. Dua-duanya rugi.

Sedangkan Pius Pampe mengusulkan agar perencanaan pembangunan di Mabar memperhatikan pengembangan budaya dan konflik di daerah baru itu diselesaikan secara budaya.
Ada banyak usulan kemudian disampaikan. Don Calon mengusulkan agar pemerintah mencegah pencurian burung-burung endemik di mbeliling.

Soal air juga dikeluhkan peserta diskusi. Rafael bilang sekarang ini debit air masih kecil. Sekarang ini debitnya 7 liter per detik. Tahun depan debit air akan meningkat kira-kira 70 liter per detik. Demikian juga listrik. Kita sedang usahakan agar PLN Labuan Bajo tidak lagi jadi ranting, melainkan cabang. Infrastruktur menuju objek-objek wisata juga akan terus dibangun pemerintah.

Diskusi lalu berakhir. Banyak yang bilang pada saya ini ajang yang baik sebagai curah gagas untuk membangun Manggarai. Karena ada kekhawatiran besar pemekaran Manggarai jadi kabupaten akan berpengaruh pada Manggarai secara kultural. Ada keinginan agar ke depan ajang curah gagasan seperti ini makin lebih sering dibuka. Sehingga ada ruang orang bisa mendiskusikan pembangunan Manggarai di bawah payung besar: membangun Manggarai.

Flores Pos | Feature | Diskusi
| 5-9 Desember 2008 |

Tidak ada komentar:

Posting Komentar