Oleh Frans Obon
Guru-guru di tingkat lokal kelabakan dengan sertifikasi guru. Dari tidak siap sampai rasa cemburu.
PEMERINTAH memberi kue kesejahteraan kepada para guru, tetapi dengan syarat. Itulah kesan sepintas yang dirasakan para guru dalam diskusi bulanan yang digelar Harian Umum Flores Pos bekerja sama dengan Universitas Terbuka UPBJ Ende, Sabtu (16/2), di aula Bung Karno Penerbit Nusa Indah.
Pembicara dalam diskusi ini adalah Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Ende Don Bosco Wangge, Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Amatus Peta, Koordinator Universitas Terbuka UPBJJ Kupang di Ende Irama Pelaseke, dan moderator Frans Obon (Flores Pos). Peserta diskusi sekitar 40 orang, datang dari berbagai lembaga pendidikan (lembaga pendidikan dasar hingga perguruan tinggi) dan yayasan-yayasan, serta para guru dan pengawas sekolah.
Diskusi ini ingin menolong guru sekaligus membangun solidaritas di antara para guru (guru menolong guru) untuk mengatasi kendala yang mereka hadapi dalam merespons sertifikasi guru. Diskusi mau mencari berbagai alternatif solusi agar para guru memenuhi standar dan portofolio sebagaimana disyaratkan pemerintah.
Tiga pembicara mengantar peserta untuk mendiskusikan kendala, peluang dan kemungkinan solusi yang diambil. Mengantar diskusi, Don Bosco Wangge menilik masalah ini dari perspektif pemerintah. Paling tidak apa strategi pemerintah untuk mendorong para guru memenuhi standar portofolio yang ditetapkan pemerintah karena bagaimanapun dinas pendidikan berkepentingan langsung dengan program sertifikasi, peningkatan mutu pendidikan dan penambahan pendapatan para guru.
Amatus Peta melihatnya dari perspektif organisasi para guru. Undang-Undang No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen juga bagian dari hasil perjuangan PGRI. Paling tidak, PGRI juga ikut merasa bertanggung jawab dan mendorong para guru untuk memanfaatkan peluang sertifikasi untuk meningkatkan mutu guru, mutu pendidikan, dan menambah penghasilan para guru. Dalam wadah PGRI, para guru membicarakan peluang yang mereka bisa gunakan untuk memaksimalkan usaha memenuhi persyaratan sertifikasi ini.
Irama Pelaseke membicarakan peluang terpenuhinya syarat kualifikasi akademik bagi para guru, terutama di tingkat pendidikan dasar dan menengah yang belum memiliki ijazah strata satu. Universitas Terbuka menyediakan peluang tanpa harus mengorbankan anak didik. Artinya para guru masih bisa mengajar sehingga anak didik tidak dirugikan, namun di sisi lain tetap mengikuti program pendidikan di Universitas Terbuka.
Syarat Portofolio
Ada sepuluh syarat portofolio yang harus dipenuhi. Kualifikasi akademik, pendidikan dan pelatihan, pengalaman mengajar, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, penilaian dari atasan dan pengawas, prestasi akademik, karya pengembangan profesi, keikusertaan dalam forum ilmiah, pengalaman di organisasi bidang pendidikan dan sosial, dan penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan.
Kualifikasi akademik menyangkut tingkat pendidikan formal yang telah dicapai sampai guru bersangkutan mengikuti sertifikasi baik pendidikan Strata Satu (S1) maupun D4 (post graduate diploma) baik di dalam negeri maupun luar negeri. Bukti fisik yang dikumpulkan adalah fotokopi ijazah yang telah dilegalisasi oleh perguruan tinggi yang mengeluarkannya atau oleh Dirjen Dikti untuk ijazah/sertifikat luar negeri.
Sedangkan pendidikan dan pelatihan menyangkut pengalaman mengikuti pendidikan dan pelatihan pengembangan atau peningkatan kompetensi dalam menjalankan tugas sebagai pendidik. Bukti yang harus disertakan adalah fotokopi sertifikat/surat keterangan yang telah dilegalisasi oleh atasan.
Pengalaman mengajar yakni masa kerja guru sebagai pendidik pada satuan pendidikan tertentu sesuai dengan surat tugas dari lembaga berwenang. Buktinya adalah fotokopi Surat Keputusan (SK) yang telah dilegalisasi atasan.
Perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran menyangkut perencanaan yakni persiapan mengelola pembelajaran yang akan dilaksanakan dalam kelas pada setiap tatap muka. Buktinya adalah dokumen perencanaan pembelajaran (RP/RPP)/SP) yang diakui atau disahkan atasan. Pelaksanaan pembelajaran adalah menyangkut kegiatan guru dalam mengelola pembelajaran di kelas. Bukti fisik yang dimintai adalah dokumen hasil penilaian oleh kepala sekolah dan atau pengawas dengan menggunakan format penilaian yang telah disediakan.
Penilaian dari atasan dan pengawas diberikan oleh kepala sekolah atau pengawas terhadap kompetensi kepribadian dan sosial guru. Bukti fisiknya adalah hasil penilaian dengan menggunakan format penilaian yang telah disediakan dan dilampirkan dalam amplop tertutup.
Prestasi akademik terkait prestasi yang diperoleh para guru terkait dengan bidang keahliannya dan mendapat pengakuan dari lembaga/panitia penyelenggara. Komponen ini meliputi lomba dan karya akademik, instruktur, tutor, guru inti, dan pembimbing kegiatan siswa. Bukti fisiknya adalah fotokopi piagam penghargaan/sertifikat, surat keterangan yang telah dilegalisasi oleh atasan.
Karya pengembangan profesi berupa buku yang dipublikasikan, artikel yang dimuat di media massa, jurnal, buletin, modul, laporan penelitian tindakan kelas (individu dan kelompok) karya seni (patung, rupa, tari, lukisan). Bukti fisiknya adalah keterangan dari pejabat yang berwenang.
Pengalaman organisasi bidang pendidikan dan sosial berupa menjadi pengurus organisasi pendidikan dan sosial atau mendapat tugas tambahan, pengurus organisasi di bidang pendidikan antara lain Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI); pengurus organisasi sosial seperti RT/RW, LMD/BPD; tugas tambahan antara lain kepala sekolah, ketua jurusan, kepala lab/bengkel studio; Bukti fisiknya adalah surat keputusan atau surat keterangan dari pihak berwenang.
Penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan seperti penghargaan karena dedikasi dalam menjalankan tugas, komitmen, etos kerja. Bukti fisiknya adalah fotokopi sertifikat/piagam/surat keterangan yang telah dilegalisasi atasan.
Rumah Kaca
Di tingkat lokal sertifikasi ini sebuah batu besar yang memerlukan energi yang lebih besar pula untuk menggulingkannya. Ketua PGRI Amatus Peta mengibaratkan para guru yang tidak memenuhi persyaratan sertifikasi sebagai orang yang tinggal di dalam rumah kaca yang hanya menonton para guru yang memenuhi syarat menikmati kue sertifikasi.
Penghuni rumah kaca itu sebagian besar guru-guru di tingkat pendidikan dasar yang belum menyandang ijazah strata satu atau Diploma IV (D4). Memenuhi syarat kualifikasi akademik, tidak ada jalan lain selain mereka harus melanjutkan pendidikan. Namun pilihan inipun bukan perkara mudah.
Guru-guru yang telah berusia di atas empat puluhan memikul beban ganda. Pada usia itu anak-anak mereka sudah ada yang berada di bangku kuliah. Sulit rasanya mengatur pendapatan untuk membiayai anak kuliah dan membiayai diri sendiri agar memenuhi syarat akademis bagi yang belum strata satu dan D4. Lebih lagi guru-guru yang sudah berusia kritis di atas 52 tahun.
Konsekuensi dari ketidakmampuan memenuhi syarat portofolio ini besar yakni guru bersangkutan akan ditempatkan sebagai staf atau tidak akan berhak mengajar lagi di depan kelas. “Haknya sebagai pegawai negeri sipil tidak dihilangkan, tapi yang bersangkutan menjadi staf,” kata Don Bosco Wangge.
Persyaratan ini, jika dipenuhi semua, memang akan mampu meningkatkan mutu guru dan mutu pendidikan. Sertifikasi menekankan pentingnya kompetensi pedagogik, kepribadian (sehat rohani dan jasmani) dan interaksi sosial. Sertifikasi ini tidak saja menuntut kompetensi akademis namun kualitas kepribadian guru amat dituntut, komitmen menyiapkan bahan ajaran dengan serius.
Bahkan Theo Uheng yang sekarang satu-satunya guru yang bisa naik ke IVA dan sebagai asesor mengatakan, menghindari manipulasi bukti persiapan bahan ajaran, dia menuntut tulisan tangan untuk mengecek apakah betul ini huruf guru yang bersangkutan atau hanya kopian dari komputer. “Sebab sekarang gampang sekali”.
Tidak Siap
Keluhan lain yang mencuat dalam diskusi ini adalah para guru tidak siap. Ada banyak sebab. Ada yang mengeluh kurangnya sosialisasi sehingga banyak para guru yang tidak tahu.
Sosialisasi sudah dilakukan, jawab Don Wangge, ketika Kasek SMA Negeri 2 Hendrik Sengi dan Lunik Widyawati, seorang pengawas sekolah mengeluh kurangnya sosialisasi. Khusus untuk para pengawas, sambung Don Wangge, di Kantor Dinas P dan K ada internet. Tiap saat siapa saja bisa menggunakannya dan silakah print out sebab di sana ada kertas. Namun Don Wangge mengakui, Dinas tidak dapat berbuat banyak karena anggaran untuk sosialisasi sertifikasi guru tidak ada.
Bukan saja soal sosialisasi, tapi juga kesiapan para guru itu sendiri. Sebagian besar para guru tidak terlalu terampil untuk menyimpan semua dokumen-dokumen sehingga ketika diperlukan amat sulit dicari. Selain itu para guru yang pernah ikut kegiatan akademik seperti pelatihan, seminar, diskusi, dan kegiatan sejenisnya tidak mendapatkan sertifikat sebagai bukti. Akibatnya para guru sulit memenuhi persyaratan yang ada, bukan berarti mereka tidak pernah mengikuti kegiatan yang bisa meningkatkan kemampuan kompetensi mereka. “Inilah saatnya para guru untuk terlibat dalam kegiatan sosial kemasyarakatan,” ajak Amatus Peta.
Peserta diskusi yang sebagian besar para guru ini mengaku bahwa kompetensi untuk karya tulis, penulisan buku, masih sukar dilakukan. Peluang kerja sama bisa dilakukan di sini antara Flores Pos dan Penerbit Nusa Indah dan PGRI serta Dinas Pendidikan. Kerja sama yang sinergis akan dapat membantu para guru memenui syarat portofolio.*
Menggoda dan Cemburu
KALAU dilihat dari persyaratan portofolio sertifikasi guru adalah jalan menuju standarisasi kualitas guru, yang diharapkan pada akhirnya mutu pendidikan di Indonesia yang seringkali dikeluhkan terbilang rendah, didongkrak naik. Bahwa ada penambahan dan peningkatan pendapatan guru setelah memenuhi persyaratan, hal itu dilihat sebagai konsekuensi.
Ambil misal persyaratan perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran yang memprasyaratkan perlunya guru menyiapkan bahan ajar. Syarat ini akan mencegah guru yang tidak menyiapkan diri ke sekolah dengan bahan ajaran yang pasti. Sebab godaan bagi para guru senior yang merasa sudah hafal luar kepala bahan ajar, tidak lagi menyiapkannya secara teratur. Lagi pula hal ini akan memaksa guru untuk terus meng-up date bahan ajarnya dan mencari metode yang tepat agar memudahkan siswa memahami materi ajar.
Sepuluh syarat portofolio itu memaksa guru untuk tidak sekadar berprofesi guru, tetapi menjadi guru yang sungguh-sungguh jadi guru. Mungkin ini pula jalan untuk memurnikan motivasi menjadi guru.
“Saya beranggapan di depan para guru sudah dipajang kue dan mereka diberi kesempatan untuk merebutnya, tapi dipasang kriteria. Maka lunglailah mereka. Karena dari dulu mereka tidak siap jadi guru. Pengalaman saya, orang mau menjadi guru sebagai jalan pintas untuk bisa mengongkosi adik-adik mereka,” begitu kata Theo Uheng membuka sesi diskusi.
Theo Uheng adalah salah satu asesor untuk guru agama Katolik. Guru-guru agama berada di bawah Departemen Agama sedangkan guru-guru lainnya berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas).
Kepala Sekolah SMP Negeri 2 Ende Stefanus Rosi mengatakan, para guru tidak siap dan mentalitasnya cepat puas dengan apa yang ada. “Dicubit baru terkejut”. “Sudah luar biasa, 39 orang sudah gol”.
Ketidaksiapan itu terlihat dalam diskusi. Pater Hendrik Rua SVD menderetkan 4 kategori reaksi para guru ketika memberlakukan sertifikasi dengan sepuluh persyaratan itu. Berbeda reaksinya antara guru yang belum Strata Satu dan D4, guru yang usianya masih muda, guru di atas usia 40 tahun, dan guru yang tergolong kritis di atas usia 52 tahun.
Kasek SMA Negeri 2 Hendrik Sengi menilai, waktu yang mereka miliki untuk mempersiapkan dokumen sertifikasi terlalu singkat, apalagi di tengah sistem dokumentasi pribadi yang kurang teratur. “Jangan sampai sertifikasi ini hanya retorika politik belaka. Jangan sampai ada kesan seperti itu,” katanya.
Tobias Tonda menilai sertifikasi ini hanya bukti administrasi. Sebenarnya yang penting adalah sesuatu yang beyond, di balik sertifikasi, performance para guru. Malah Kasek SMP Negeri 3 Gabriel Wulan Pari menyalahkan anggota Dewan yang dulunya “berada di bawah pohon kelapa” memasang syarat-syarat yang sulit dipenuhi para guru. “Kalau mau dapatkan uang, harus siapkan ini dan itu. Ini yang membuat kita semakin terpojok”.
Kadis Don Bosco Wangge, menanggapi Hendrik Sengi, berjanji pada masa mendatang jika dinas menyelenggarakan pendidikan dan latihan juga akan menyiapkan sertifikat bagi peserta. “Kami akan coba memberikan sertifikat pada semua kegiatan. Kalau kita kembali ke belakang, tidak akan selesai-selesai”.
Menyinggung minimnya sosialisasi, Don Bosco Wangge mengatakan, tidak ada dana untuk sosialisasi. “Kita tidak ada kebagian dana untuk itu. Kita bisa bentuk tim lagi, kalau dana disetujui, tim bisa bekerja”. “Gara-gara soal begini ini (dana), saya dituduh kadis gila dan tukang ribut”.
Menggoda
Sertifikasi adalah juga sebuah godaan. Ada guru-guru yang mau jalan pintas dan coba mendekati tim asesor. “Ini godaan besar untuk tim asesor,” kata Theo Uheng. “Ini saya omong pada masa puasa – orang Katolik lagi berada dalam puasa selama 40 hari. Ada yang mengirim SMS bahwa guru bersangkutan pernah menjadi muridnya.”
Namun Theo berujar, sebagai tim asesor dia tidak akan tergoda untuk melakukan hal-hal demikian. Bahkan dalam hal persyaratan pengajaran dan pelaksanaannya, dia menuntut tulisan tangan untuk materi ajar para guru. “Sebab kalau dengan komputer, akan mudah dikopi dan diganti saja”.
Godaan tidak saja untuk tim asesor. Guru-guru juga tergoda untuk membuat manipulasi. Jika manipulasi sungguh terjadi, maka tujuan sertifikasi tentu saja gagal. Karena sertifikasi pertama-tama untuk mendorong peningkatan kompetensi pedagogik guru dan kompetensi sosial.
Munculnya isu, rumors dalam sertifikasi sebagaimana mencuat dalam diskusi menunjukkan bahwa selalu terbuka peluang sertifikasi menjadi “dagangan baru” untuk kepentingan diri. Namun, rumors juga bisa muncul dari kepentingan politik sesaat.
Meski demikian, inti dari peringatan ini adalah bahwa sertifikasi harus sungguh-sungguh bersih dari segala bentuk manipulasi. Ini tentu terpulang kepada para guru, kepala sekolah, dan pengawas. Kalau mereka tidak bermain mata, maka tujuan sertifikasi terpenuhi.
Don Wangge mengatakan, kalau ada manipulasi itu berarti ada bencana ketidakjujuran. “Kalau kita berhadap dengan orang, kita kalahkan aturan. Kalau begitu, akan terjadi bencana ketidakjujuran. Kalau kita punya prinsip, tidak akan ada manipulasi,” katanya.
Cemburu
“Cemburu itu sudah pasti,” kata Theo Uheng. Lunik Widyawati, seorang pengawas juga mengaku ada kecemburuan di kalangan para guru. “Kami berhenti saja jadi guru,” begitu kata Lunik mengutip keluhan para guru.
Bahkan Amatus Peta mengatakan kepada saya, ada guru yang mengatakan, “Biar kamu yang lulus sertifikasi saja yang bekerja”.
Semua reaksi ini menunjukkan bahwa ada kecemburuan di kalangan para guru. Karena guru yang lulus sertifikasi belum tentu guru yang terbaik di sekolahnya. Ada guru yang tergolong baik, memiliki komitmen dan dedikasi namun tidak bisa lulus sertifikasi.
Penilaian ini tentu dilandaskan pada asumsi. Jika dilihat dari persyaratan portofolio, sertifikasi menjamin bahwa guru yang lolos itu memang sungguh berkualitas, tentu dengan syarat tidak ada manipulasi dalam penilaian. Sepuluh syarat dalam portofolio itu jika dilakukan dengan sungguh-sungguh, akan dapat menjamin kualitas guru.
Trudy Djanggur dari NTT-PEP mengatakan, sertifikasi guru ini akan menimbulkan kecemburuan dan beban psikologis. Hal ini jelas akan mengganggu proses belajar mengajar. Mengatasi hal ini, dia menganjurkan agar Dinas mengambil langkah memberikan kompensasi untuk mengecilkan jurang perbedaan pendapatan di kalangan para guru yang lulus sertifikasi dan yang belum lulus.
Mengacu pada pemberian kompensasi pada tenaga konsultan, dia menganjurkan agar guru-guru yang tidak bisa mendapatkan sertifikasi disediakan sejumlah dana, sehingga perbedaan dalam pendapatan menjadi kecil. Ini menurut dia akan meminimalisasi kecemburuan di kalangan para guru.
Namun usulan ini tentu tidak mudah karena amat bergantung pada pengambil kebijakan yakni pemerintah daerah setempat. Berulang kali Don Bosco Wangge mengatakan, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan hanyalah pengguna anggaran, bukan penentu kebijakan. Langkah ini, kata dia, bisa dilakukan apabila penentu kebijakan punya komitmen untuk melakukan hal itu.
Sampai saat ini, masih terdapat perbedaan dalam memahami 20 persen anggaran untuk pendidikan. Ada yang bilang anggaran pendidikan di Kabupaten Ende sekarang sudah 32 persen. “Saya tidak tahu lagi bagaimana cara menghitungnya”.
“Kami tidak setamak seperti yang dibayangkan. Anggaran pendidikan seharusnya setiap tahun dinaikkan, bukan malah dikurangkan”.
“Kalau orang cemburu, mau bilang apa. Ini peraturan pemerintah pusat” Sudah ada usaha meminta fatwah dari Mahkamah Konstitusi (MK) namun kita belum tahu. Karena Peraturan Pemerintah (PP) belum juga turun. Kita hanya bersandarkan pada Permendiknas, kata Don Wangge.
Ada Lilin di Depan Terowong
KETIKA para guru hanya membayangkan yang sulit-sulit dari sertifikasi ini, rasanya mereka sedang berada di dalam sebuah terowong gelap dan tidak tahu lagi apakah ada jalan keluar atau tidak.
Diskusi ini pertama-tama mau mencari jalan keluar dan menemukan langkah-langkah konkret menolong para guru agar memenuhi standar yang ditetapkan pemerintah. Keresahan, kecemburuan, godaan atau apapun namanya dalam hal sertifikasi ini jika ditransformasikan secara cerdas akan membuahkan mutu guru dan mutu siswa.
Paling tidak, kita berhenti mengeluh dan mulai melakukan langkah positif kreatif untuk menjawabi tantangan ini. Flores Pos dalam kerja sama dengan Universitas Terbuka UPBJJ Kupang di Ende hendak membawa para guru dalam satu ruang diskusi agar mereka bisa menemukan jalan keluar dari masalah mereka sendiri. Mereka harus berusaha keras untuk menyikapi masalah ini.
Itu pula alasannya, mengapa media ini berusaha membawa para guru ke dalam sebuah ruang diskusi bersama organisasi para guru (PGRI), agar organisasi ini menjadi tempat para guru berjuang dan bergandengan tangan membahas dan mencari solusi dari masalah mereka sendiri.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Ende Don Bosco Wangge memaparkan rencana strategis Dinas Pendidikan menyikapi sertifikasi guru ini. Namun jauh dari itu rencana strategis tidak saja hanya untuk memenuhi persyaratan sertifikasi, namun sebuah rencana besar untuk mendongkrak mutu pendidikan di kabupaten ini.
Dalam paparannya Don Bosco Wangge menyebutkan bahwa sertifikasi ini tujuannya adalah untuk menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran dan mewujudkan pendidikan nasional, meningkatkan proses dan mutu hasil pendidikan, meningkatkan mutu guru, dan meningkatkan profesionalisme guru. Manfatnya adalah melindungi profesi guru dari praktik-praktik yang tidak kompeten, yang dapat merusak citra guru, melindungi masyarakat dari praktik-praktik pendidikan yang tidak berkualitas dan profesional, dan meningkatkan kesejahteraan guru.
Don Wangge mengaku dinas pendidikan berkomtimen membantu para guru untuk memenuhi standar kompetensi sebagaimana dituntut dalam sertifikasi guru ini.
Data dinas menyebutkan jumlah guru sekarang sebanyak 5.441 orang, terdiri dari guru PNS 3.071 orang dan guru non-PNS 2.370 orang. Guru berijazah sarjana sebanyak 949 orang dan yang belum disertifikasi 690 orang dan yang sudah disertifikasi 259 orang, terdiri dari PNS 238 orang, dan non-PNS 21 orang. Sampai sekarang baru 39 orang yang lulus sertifikasi, sedangkan yang tidak lulus 149 orang, sehingga masih harus mengikuti pendidikan dan pelatihan lagi. Saat ini ada 71 orang yang sedang diberi penilaian.
Pada kesempatan itu Don Wangge juga memaparkan rencana strategis (Renstra) Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Ende. Menurut data dinas, masih ada 4.492 orang guru yang belum berijazah sarjana, dengan rincian SLTA 3.591 orang, Diploma Satu 120 orang, Diploma Dua 454 orang, dan Diploma Tiga 327 orang.
Melihat fakta ini, Don Wangge mengatakan, dalam Renstra Dinas pada tahun 2015 semua guru yang belum sarjana akan menjadi sarjana, sehingga Dinas berkomitmen mengusulkan peningkatan anggaran di sektor pendidikan untuk bisa mencapai tujuan ini. Karena itu sekarang pemerintah tidak lagi menerima tenaga guru yang belum bergelar sarjana. “Hal ini bisa tercapai kalau dinas didukung. Sebab dinas bukan penentu anggaran, melainkan pengguna anggaran,” katanya.
Menurut perkiraan dia, jika tidak ada penambahan guru maka 2035 sudah tidak ada guru lagi dan sekolah-sekolah ditutup. “Karenanya saya sering imbau kepada yayasan-yayasan untuk memberikan beasiswa kepada anak-anak yang mau jadi guru”.
Dinas sendiri, katanya, sedang mengirim orang mengambil strata dua (S2) dengan harapan bahwa kebutuhan kita akan guru terpenuhi. Anak-anak kita tidak perlu keluar dari Flores untuk sekolah guru. “Kita memperkuat Uniflor”.
Dalam diskusi ini Edelbertus Wara, seorang pengawas pendidikan mengusulkan agar guru yang dikirim mengikuti pendidikan S2 tidak menyimpang dari bidangnya. Don Wangge setuju dengan usulan ini.
Alternatif lain untuk membantu guru yang belum sarjana ini adalah mengikuti pendidikan di Univesitas Terbuka (UT). UT adalah perguruan tinggi negeri ke-45 di Indonesia yang diresmikan 4 September 1984 berdasarkan Keputusan Presiden RI No 41/1984.
Koordinator Universitas Terbuka UPBJJ Kupang di Ende Irama Pelaseke dalam pengantar diskusi mengutarakan kemudahan-kemudahan bagi guru-guru yang mau mengikuti pendidikan di Universitas Terbuka.
Irama menyebutkan enam keuntungan belajar di TU yakni tidak mengganggu tugas pokok, tidak perlu meninggalkan tempat kerja atau tempat tinggal, biaya dapat dijangkau mahasiswa, memberi beasiswa kepada mahasiswa yang berprestasi (IP tertinggi) pada setiap semester, registrasi dibuka pada setiap semester, dan menyiapkan tutorial/perkuliahan bagi mahasiswa yang membutuhkan.
Mendukung sertifikasi guru ini, kata Irama, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UT membuka program sarjana pendidikan anak usia dini untuk lulusan SPG/SLTA dan D2 PGTK; Program Sarjana Pendidikan Sekolah Dasar; dan membuka Program Sarjana Pendidikan bidang studi S1 yakni Pendidikan Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Kimia, Biologi, Fisika, Ekonomi Koperasi, dan Kewarganegaraan.
Ke depan, kata Irama, UT akan membentuk kelompok belajar mahasiswa di setiap lokasi kecamatan. Sekarang UT memiliki kelompok belajar mahasiswa di Detusoko, Ndona, Ndona Timur, Ende Selatan, Ende, Wewaria, Maukaro, Nangapanda, Wolojita, dan Kelimutu. UT juga menyiapkan buku dan modul yang disusun para ahli.
“Jika dikaitkan dengan persoalan yang kita bahas hari ini, Universitas Terbuka siap membantu para guru yang belum memiliki ijazah sarjana (S1). Ini merupakan peluang yang ditawarkan UT kepada para guru,” katanya.
Theresia Bete Parera, seorang guru dalam diskusi mengatakan, meski dibatasi usia namun dia mengikuti kuliah di Universitas Terbuka. Dia mendorong para guru yang belum berijazah Strata Satu untuk kuliah lagi sehingga memenuhi syarat berdasarkan kriteria sertifikasi.
Namun Theresia Dairo Bulu dari SDI Bhoanawa I mengeluh betapa beratnya beban guru jika harus merogoh kocek lagi. Karena mereka harus mengongkosi kuliah anak-anak mereka, sementara mereka sendiri harus ikut kuliah lagi. Karena itu dia menganjurkan Dinas ikut berjuang membantu para guru mendapatkan kredit lunak. Usulan ini tampaknya sulit. “Pinjamannya ke bank,” kata Don.
Namun intinya adalah para guru ingin mendapatkan keringanan dari pemerintah melalui beasiswa atau menyediakan dana bagi pendidikan lanjutan para guru, sehingga kuota sertifikasi yang ditentukan pemerintah pusat dapat terpenuhi. Memang diperlukan visi politik yang melihat jauh ke depan, sehingga paling tidak ada pendidikan menjadi salah satu prioritas dalam rencana pemerintah.
“Pendidikan menjadi salah satu prioritas dalam program pemerintah daerah, tapi tidak terlihat di dalam anggaran. Anggaran pendidikan tidak dinaikkan, malah dikurang. Idealnya setiap tahun anggaran pendidikan dinaikkan, bukan dikurangi,” kata Don Wangge.
Cara lain yang dapat membantu para guru memenuhi sertifikasi ini adalah memaksimalkan peran Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Amatus Peta, Ketua PGRI Kabupaten Ende menyanggupi keinginan ini. Bahkan pada saat itu dia membawa serta brosur syarat-syarat sertifikasi. Namun yang paling penting saat ini juga sudah terbentuk Forum Ilmiah bagi para guru sebagai wadah olah kercedasan para guru. Bahkan PGRI menyambut baik komitmen Flores Pos yang akan memberi ruang bagi para guru untuk menulis di koran.
Lukas Lege dan Pater Laurens Olanama SVD dari Penerbit Nusa Indah juga menyanggupi dan malah mendorong para guru untuk bersama-sama menerbitkan buku. Beberapa tahun lalu, kata Lukas Lege, Penerbit Nusa Indah coba mendampingi para guru untuk menulis buku. Namun usaha ini mentok. Kini Penerbit membangun komitmen dan prakarsa baru untuk bersama-sama para guru menerbitkan buku.
Don Wangge sebagai kepala dinas juga menyanggupi hal ini. Dia mengatakan, Dinas pernah membantu menerbitkan buku yang diterbitkan Pater Gabriel Goran SVD. Dinas akan menyambut baik, bahkan mendorong para guru menulis buku pelajaran.
Selain media massa, ada jurnal yang bisa memuat karya tulis para guru. Ada lembaga yang membantu para guru membuat penelitian.
Diskusi ini kemudian ternyata mampu memberi rangsangan baru dan melahirkan prakarsa-prakarsa baru, selain membantu para guru menjadi guru yang profesional, tetapi juga menarik energi baru untuk memajukan dunia pendidikan di Kabupaten Ende. Ternyata, masih ada sebatang lilin di ujung terowongan gelap sertifikasi guru dan peningkatan mutu pendidikan. Hanya satu yang tersisa, apakah guru sendiri punya komitmen untuk menolong diri mereka sendiri? Karena semuanya akan menjadi sia-sia jika guru hanya menunggu sebuah mukjizat datang.*
Flores Pos| Feature | Sertifikasi Guru
20 Februari 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar