Halaman

7 Mei 2009

Malpraktek Kekuasaan

Oleh Max Regus, Pr


Saya setuju dengan apa yang ditulis Pak Frans Anggal dalam kolom ‘Bentara’ – “Ketika Gereja Dijinakkan” – edisi Senin, 27 April 2009. Pak Frans Anggal menulis “Keuskupan Ruteng sedang menunggu uskup baru. Alangkah bagusnya kalau yang baru bukan hanya uskupnya, tapi juga posisi Gerejanya”. Gereja (bukan saja Keuskupan Ruteng) harus menunjukkan pembelaan pastoral yang tegas dalam persoalan kemiskinan, kehancuran lingkungan dan perusakan HAM.

Ini merupakan kebutuhan penting. Agama niscaya memiliki koherensi yang kuat dengan realitas kehidupan. Keberadaan Gereja merupakan refleksi atas kehidupan. Suara kenabian muncul dari kedekatan Gereja dengan problem-problem pelik yang mencekik kehidupan umatnya. Gereja baru dapat bersuara dan menunjukkan sikap yang tegas ketika ia sendiri dapat menangkap konteks kehidupan di sekitarnya.


Masif
Proses penghancuran kehidupan secara masif merupakan realitas yang sedang mengurung kita. Penghancuran berlangsung sistematis, tidak lagi secara sporadis dan episodik. Proses ini hanya dapat dilakukan tangan-tangan para penguasa yang datang dari dunia kelaliman. Seolah kehidupan sekadar menjadi ‘rumah makan’ yang menghamba pada kerakusan. Mereka merusakkan tatanan kehidupan dan mempersembahkan semuanya pada panggung akumulasi keuntungan tanpa batas.

Masyarakat kecil berpeluang menjadi ujung paling kelam dari segenap mekanisme pemberlakuan politik pembangunan. Pembangunan dijadikan sebagai pembenaran dari pengerukan sumber daya alam (kehidupan) sembari meninggalkan ‘remah-remah’ yang meracuni kehidupan masyarakat. Masyarakat yang tidak mampu, dengan begitu saja diperlakukan sebagai ‘tambahan-tambahan’ kecil dalam praktek pembangunan. Mereka bisa dibodohi dan dikorbankan untuk kepentingan- kepentingan kaum imperialis yang mendapatkan perlindungan politik.

Batas antara kehidupan dan kematian menjadi sangat tipis. Ada teriakan kematian yang datang dari ruang kehidupan masyarakat. Namun seringkali semuanya tidak bisa menandingi gemuruh kerakusan yang diluncurkan atas nama kebijakan pembangunan.
Kehidupan kita dikelilingi mesin-mesin pembantaian yang bekerja dengan kekejian paling lengkap. Proses penghancuran ini tidak berlangsung di atas dentuman senjata, melainkan pada segenap kebijakan politik, ekonomi dan bisnis yang menggurita di mana-mana.

Gereja Kristus seringkali berdampingan dengan para penguasa yang telah menjadikan kedudukannya untuk mengangkuhkan diri sambil menistakan segala perjuangan menuju kebaikan. Kesombongan itu dipakai untuk menutup semua pintu pertimbangan kritis. Para penguasa seringkali ‘salah-kaprah’ ketika memperlakukan posisi dan kedudukan. Seolah, mereka dapat menentukan segala sesuatu seperti dalam rumahnya sendiri.
Tentu saja, mereka mengecualikan pertanyaan-pertanya an kritis dari pihak lain. Para penguasa menghargai Gereja ketika institusi ini ‘dialami’ sebagai kekuatan pendukung, namun pada waktu yang lain mereka melakukan penghinaan pada Gereja manakala ada ‘suara kritis-profetik’ terhadap perilaku arogan para penguasa.

Ilusi
Terlalu banyak orang terutama penguasa di bumi ini yang menebarkan ilusi tentang kemakmuran dan kesejahteraan dari sebuah kebijakan pembangunan yang membenarkan penghancuran kehidupan. Tipuan-tipuan disusun untuk menekuk kesadaran sosial dan mematikan perlawanan akar rumput.

Politik pembangunan yang berlaku di ruang-ruang kehidupan, dengan cara yang tidak kelihatan, menyumbang ‘ketercerabutan’ masyarakat dari basis-basis kehidupannya sendiri. Mereka kehilangan akses pada pola dan mekanisme kebijakan pembangunan sehingga pada akhirnya proses itu mengalienasikan mereka dari lingkup kehidupannya.
Itulah kebusukan yang tumbuh dari sebuah perilaku politik yang tidak memiliki intensi mengawal kehidupan selain memuluskan operasi-operasi kekuasaan yang tidak memperhitungkan nilai-nilai kemanusiaan. Pembangunan yang dirancang berdasarkan hasrat kerakusan hanya menghadiahkan ‘ilusi’ bagi masyarakat. Gereja yang tidak berhasil ‘dijinakkan’ pasti menjadi ancaman bagi penguasa yang menebarkan ‘ilusi’ dan ‘kebohongan’.

Struktural
Itulah sebabnya usaha “penjinakkan” Gereja merupakan proses struktural-sistematis. Berlaku di manapun! Mekanismenya selalu sama! Agama bisa menjadi “progresif-revolusioner” di hadapan proses pemiskinan rakyat sekaligus “sopan-dingin- apatis” manakala pembelengguan menghinakan perjuangannya.

Kitab Suci (Injil) sudah lama dilihat dan diperlakukan sebagai bagian dari usaha ‘menidurkan’ manusia untuk menerima keadaan mereka apa adanya. Injil dijadikan sebagai bagian dari usaha meraih ‘surga’, namun seringkali injil tidak ditempatkan sebagai bagian dari usaha meluputkan kehidupan dari serangan-serangan kekuasaan yang rakus. “Penjinakkan Gereja” merupakan bahasa lain dari usaha mematikan ‘energi Injil’ sebagai kabar gembira bagi manusia konkret.

Kekuasaan yang kehilangan pertimbangan nurani akan melakukan dua hal yang sama-sama kejam: ‘penjinakan’ dan ‘intimidasi’. Kepada institusi kuat seperti Gereja, mereka berusaha melakukan ‘penjinakan’ dengan menyuap para pemukanya. Sedangkan kepada rakyat yang melakukan perlawanan, mereka melancarkan ‘intimidasi’.

Kedua proses ini memiliki tujuan yang sama: melumpuhkan sikap kritis dan mematikan perlawanan akar rumput. Ada satu cara menghadapi masalah ini. Gereja harus dekat dengan kecemasan akar rumput. Kedekatan ini meluputkan Gereja terhadap mekanisme ‘penjinakan’ sekaligus memberikan tenaga untuk perlawanan sosial yang kuat terhadap segala bentuk penipuan, pembodohan dan kesombongan yang termuntahkan dari panggung kekuasaan.

Sebelum Gereja Kristus (terutama institusi) melakukan perlawanan terhadap semua mekanisme penyesatan kesadaran dan represi akal sehat, dia (Gereja) harus berani mengelakkan diri terhadap ‘penjinakan’ yang dilakukan para pemilik kekuasaan. Dan, salah satu persoalan paling fundamental yang harus dilawan Gereja adalah fenomena ‘malpraktek kekuasaan’ yang telah menimbulkan kehancuran bagi kehidupan dan kemanusiaan. Khabar gembira Injil akan menjadi pengalaman kemanusiaan ketika Gereja mampu melumpuhkan fenomena sosial politik ini.

---------------------------------------------------------------------------------
Max Regus adalah Rohaniwan Keuskupan Ruteng, Direktur Parrhesia Institute Jakarta

Sumber: Flores Pos | 30 April 2009| p 10

Tidak ada komentar:

Posting Komentar